Akhir-akhir ini banyak sekali di berbagai daerah di tanah air kita terdenganr berita tentang kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan. Guru memukul dan menjitak siswa, guru menyuruh siswa berkelahi, guru memfasilitasi siswa beradu tinju, dan banyak macam kekerasan yang diperlihatkan guru (walaupun dalam beberapa kasus saya tidak setuju jika dikatakan kekerasan). Ini hal yang ironis sekali, dunia yang seharusnya ditanamkan nilai-nilai luhur dan budi pekerti, tempat yang seharusnya mencerdaskan kehidupan bangsa, justru dinodai dan dirusak dengan tindakan kekerasan.
Guru sejak dulu mempunyai kedudukan dan martabat yang tinggi di mata bangsa Indonesia. Banyak di temukan ungkapan-ungkapan yang intinya memberikan kedudukan yang tinggi kepada guru. Dalam masyarakat sunda misalnya, sebutan Jang guru, Nyai guru, Kang guru, Uwa guru, Aki Guru sangat populer. Begitu pula dalam pepatah ungkapan kata-kata hikmah, guru adalah orang yang harus ‘digugu dan ditiru’. Bahkan sekarang guru punya martabat profesional seperti yang dijelaskan dalam Undang-undang RI No. 14 tahun 2005 bahwa guru adalah pendidik profesional, sedangkan profesional itu adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Ada beberapa ciri guru yang profesional diantaranya adalah: pertama, guru memiliki komitmen pada siswa dan proses belajarnya, ini berarti komitmen tertinggi seorang guru adalah kepada kepentingan siswanya; kedua, guru menguasai secara mendalam bahan/ mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarkannya kepada para siswa; ketiga, guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi; keempat; guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari pengalaman (selalu melakukan refleksi dan koreksi terhadap apa yang dilakukannya); dan kelima, guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya (PGRI misalnya).
Guru sekarang bukan asal orang yang mau sukarela membantu dunia pendidikan untuk mengajar di dalam kelas, namun orang yang memiliki keahlian dan kompetensi dalam bidang pendidikan yang tidak sembarang orang mampu menggantikan posisinya, insinyur atau doktor sekalipun. Namun dibenarkankah tindakan kekerasan dalam pengajaran? Pastikan bahwa jawabannya tidak. Namun mengapa demikian? ....
Jika pertanyaan seperti diatas muncul maka tanyakan juga sudahkah guru semaksimal mungkin menerapkan teori dan metode yang diperoleh di bangku kuliah untuk mengatasi kesulitan belajar, untuk mendisiplinkan siswa, untuk mencapai tujuan pendidikan yaitu memanusiakan manusia?. Jika sudah namun tetap saja ada siswa yang menghabiskan energi guru yang terbatas dengan kenakalannya, maka apa yang harus dilakukan guru??.. Bapak dan Ibu guru yang bijak, kita telah menyaksikan bersama betapa pemerintahan kita ingin sekali mensejahterakan kita sebagai guru. Mengangkat kita bukan hanya dengan kata-kata namun dengan kesejahteraan yang lama sekali dituntut oleh dunia pendidikan, sertifikasi yang dilaksanakan bertahap untuk mensejahterakan para guru akan selesai dengan habisnya guru yang disertifikat (ingat nasib guru banyak berubah dengan adanya UU g&d). seyogyanya kita mengimbangi usaha tersebut dengan usaha yang baik pula untuk mencapai tujuan pendidikan. Jika kesabaran menghadapi siswa bisa habis, ‘akal’ pun untuk menyiasati siswa juga bisa habis, namun keikhlasan dan ketulusan kita untuk menjadi pelita dalam kegelapan takkan pernah padam, keikhlasan dan ketulusan kita untuk menjadi embun penyejuk dalam kehausan takkan pernah kering. Saya sering terbawa perasaan jika mendengar betapa orang-orang diluar sana memuji dan mengingat jasa guru-gurunya, mengatakan bahwa semua kesuksesan dan keberhasilan dirinya adalah hadiah beasar dari sang guru. Guru seharusnya tidak mudah marah, apalagi menggunakan kekerasan. Karena guru yang baik harus bersahabat, mencintai siswanya, mencintai pekerjaannya, menjadi teladan bagi siswanya dan mampu mengantarkan anak memasuki masa depannya. Mungkin kata kasih sayang adalah kata yang tepat untuk dijadikan dasar dalam hubungan antara guru dan siswa. Kasih sayang, cinta kasih yang tulus.. tanpa kasih sayang pendidikan kita akan kehilangan jati dirinya. Hubungan inilah yang sekarang mulai kering, antara siswa dan guru tidak ada lagi ikatan kasih sayang, yang ada hanya tugas dan tanggung jawab mengajar, guru datang ke sekolah, memberikan pelajaran dan penjelasan sedangkan siswa datang kerjakan tugas dan dapatkan nilai, hanya itu yang terasa antara guru dan siswa. Jika kita mau menyadari bahwa guru adalah makhluk sosial yang berurusan sangat erat dengan makhluk sosial lainnya yaitu siswa (berbeda dengan pegawai kantor), maka kita akan sadar bahwa kita adalah makhluk tuhan yang penuh dengan perasaan dan emosi, yang mesti saling menjaga agar tidak pernah melukai jiwa apalagi sampai melukai raga.
Guru sejak dulu mempunyai kedudukan dan martabat yang tinggi di mata bangsa Indonesia. Banyak di temukan ungkapan-ungkapan yang intinya memberikan kedudukan yang tinggi kepada guru. Dalam masyarakat sunda misalnya, sebutan Jang guru, Nyai guru, Kang guru, Uwa guru, Aki Guru sangat populer. Begitu pula dalam pepatah ungkapan kata-kata hikmah, guru adalah orang yang harus ‘digugu dan ditiru’. Bahkan sekarang guru punya martabat profesional seperti yang dijelaskan dalam Undang-undang RI No. 14 tahun 2005 bahwa guru adalah pendidik profesional, sedangkan profesional itu adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Ada beberapa ciri guru yang profesional diantaranya adalah: pertama, guru memiliki komitmen pada siswa dan proses belajarnya, ini berarti komitmen tertinggi seorang guru adalah kepada kepentingan siswanya; kedua, guru menguasai secara mendalam bahan/ mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarkannya kepada para siswa; ketiga, guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi; keempat; guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari pengalaman (selalu melakukan refleksi dan koreksi terhadap apa yang dilakukannya); dan kelima, guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya (PGRI misalnya).
Guru sekarang bukan asal orang yang mau sukarela membantu dunia pendidikan untuk mengajar di dalam kelas, namun orang yang memiliki keahlian dan kompetensi dalam bidang pendidikan yang tidak sembarang orang mampu menggantikan posisinya, insinyur atau doktor sekalipun. Namun dibenarkankah tindakan kekerasan dalam pengajaran? Pastikan bahwa jawabannya tidak. Namun mengapa demikian? ....
Jika pertanyaan seperti diatas muncul maka tanyakan juga sudahkah guru semaksimal mungkin menerapkan teori dan metode yang diperoleh di bangku kuliah untuk mengatasi kesulitan belajar, untuk mendisiplinkan siswa, untuk mencapai tujuan pendidikan yaitu memanusiakan manusia?. Jika sudah namun tetap saja ada siswa yang menghabiskan energi guru yang terbatas dengan kenakalannya, maka apa yang harus dilakukan guru??.. Bapak dan Ibu guru yang bijak, kita telah menyaksikan bersama betapa pemerintahan kita ingin sekali mensejahterakan kita sebagai guru. Mengangkat kita bukan hanya dengan kata-kata namun dengan kesejahteraan yang lama sekali dituntut oleh dunia pendidikan, sertifikasi yang dilaksanakan bertahap untuk mensejahterakan para guru akan selesai dengan habisnya guru yang disertifikat (ingat nasib guru banyak berubah dengan adanya UU g&d). seyogyanya kita mengimbangi usaha tersebut dengan usaha yang baik pula untuk mencapai tujuan pendidikan. Jika kesabaran menghadapi siswa bisa habis, ‘akal’ pun untuk menyiasati siswa juga bisa habis, namun keikhlasan dan ketulusan kita untuk menjadi pelita dalam kegelapan takkan pernah padam, keikhlasan dan ketulusan kita untuk menjadi embun penyejuk dalam kehausan takkan pernah kering. Saya sering terbawa perasaan jika mendengar betapa orang-orang diluar sana memuji dan mengingat jasa guru-gurunya, mengatakan bahwa semua kesuksesan dan keberhasilan dirinya adalah hadiah beasar dari sang guru. Guru seharusnya tidak mudah marah, apalagi menggunakan kekerasan. Karena guru yang baik harus bersahabat, mencintai siswanya, mencintai pekerjaannya, menjadi teladan bagi siswanya dan mampu mengantarkan anak memasuki masa depannya. Mungkin kata kasih sayang adalah kata yang tepat untuk dijadikan dasar dalam hubungan antara guru dan siswa. Kasih sayang, cinta kasih yang tulus.. tanpa kasih sayang pendidikan kita akan kehilangan jati dirinya. Hubungan inilah yang sekarang mulai kering, antara siswa dan guru tidak ada lagi ikatan kasih sayang, yang ada hanya tugas dan tanggung jawab mengajar, guru datang ke sekolah, memberikan pelajaran dan penjelasan sedangkan siswa datang kerjakan tugas dan dapatkan nilai, hanya itu yang terasa antara guru dan siswa. Jika kita mau menyadari bahwa guru adalah makhluk sosial yang berurusan sangat erat dengan makhluk sosial lainnya yaitu siswa (berbeda dengan pegawai kantor), maka kita akan sadar bahwa kita adalah makhluk tuhan yang penuh dengan perasaan dan emosi, yang mesti saling menjaga agar tidak pernah melukai jiwa apalagi sampai melukai raga.
HIdup Guru....
BalasHapus