Mengutip Makalah yang saya persiapkan untuk mengikuti seleksi Guru Berprestasi tingkat Kota Banjarmasin. Dan panggalan ini, adalah panggalan yang paling menguras emosi dan tenaga. Karena aku bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa jika Allah tidak menghadiahkan mereka dalam hidupku (Keluargaku)... ini persembahanku untuk kalian sayangku.
Keluarga sebagai sel terkecil dalam sebuah komunitas masyarakat,
memiliki andil yang sangat besar dalam membentuk pribadi yang unggul dan
berprestasi. Terlahir sebagai saudara terkecil diantara lima orang saudara
perempuan membuat saya dapat bercermin dari keberhasilan kakak-kakak
saya. Orang tua yang rela merantau demi keberhasilan anak-anaknya menyadarkan
saya bahwa untuk menjadi pribadi yang bermanfaat harus rela berkorban. Ayah dan
Ibu adalah sosok yang sangat agung untuk bercermin, meski keduanya bukan
sarjana, namun setiap kata-kata yang mereka ucapkan sebagai nasehat untukku,
seakan-akan itu adalah kutipan dari Jean Piget, John
Dewey, Ibnu Khaldun atau Ki Hajar
Dewantara. Mereka adalah inspirasi bagiku, hingga kini di
setiap prestasi atau prestise yang
saya capai adalah berkat bimbingan keduanya, berusaha dan selalu berharap saya
dapat membuat mereka bangga. Ketika saya terlahir di tanah perantauan orang tua
Mekkah Arab Saudi, ayah dan ibu hanyalah pekerja musiman, yaitu pembantu syekh menerima
dan melayani Jamaah haji yang datang sekali dalam setiap setahun. Berkat
kebaikan syekh kami mendapatkan tempat tinggal dan bernaung. Namun di usia
sekolah dasar saya, orang tua saya harus kehilangan pekerjaan itu karena
pemerintah Arab saudi menghapus sistem bimbingan syekh ke Muasassah yang bertanggung jawab atas pelayanan jemaah haji.
Namun orang tua selalu berusaha untuk dapat mencarikan
nafkah bagi anak-anaknya yang ditinggal di tanah air, juga bagi anak-anak yang
tinggal bersamanya di perantaun. Ingatan saya masih lekat dengan sosok ayah
yang gigih bekerja apa pun yang dapat dilakukannya asalkan mendapatkan apa yang
dibutuhkan anak-anaknya: Pendidikan yang terbaik. Tak peduli bekerja siang hari
di tanah tandus dengan temperatur ± 45oC, atau malam hari ketika suhu ekstrim
padang pasir berubah menjadi sangat dingin.
Dibalik perjuangan orang tua ini, saya mendapatkan
pendidikan yang dapat saya banggakan. Duduk di bangku yang sama dengan anak
pribumi merupakan sebuah kebanggan, bahkan saya dapat meraih nilai di atas
rata-rata selama 9 tahun keberadaan saya di sekolah dasar dan sekolah menengah.
Dan ini adalah prestasi bagi saya berada
di tanah asing dan menjadi siswa rangking tiga terbesar di setiap tahunnya,
mengalahkan anak-anak pribumi, untuk membuktikan kepada orang tua saya bahwa
mereka tidak sia-sia bekerja siang malam demi keberhasilan anaknya.
Jika orang tua menjadi dasar atau akar dari sebuah
prestasi, maka anak dan buah hati adalah sebuah prestasi yang berakar dari
orang tua. Kisah lain dari kehidupan saya sebagai orang tua. Beberapa bulan
setelah menjalankan tugas sebagai Guru saya melahirkan anak pertama, dia
seorang putri yang menjadi bibit yang harus saya sirami dengan segenap
pengetahuan dan skill yang saya miliki untuk membantunya tumbuh sebaik mungkin
untuk menjadi anggota masyarakat yang baik. Namun, tantangan ini sudah terasa
terjal di bulan keempat usia anak saya ketika saya mencurigai abnormal padanya.
Putri pertama saya tidak terkejut atau menangis ketika terdengar suara keras
seperti suara guntur atau suara pintu yang tertutup dengan keras. Kecurigaan
ini berlangsung tanpa mendapatkan diagnosis yang pasti dari dokter hingga usia
14 bulan. Di usia 14 bulan lah, saya mendapatkan vonis bahwa putri saya total deafness (tuli total), tentu saja vonis ini
membuat saya terpukul, merasakan semua yang saya pandang berputar-putar
sekaligus merasakan dunia berhenti berputar, saya hanya berpikir apa yang harus
saya lakukan untuk tetap dapat membangun harapan-harapan indah untuknya.
Dukungan yang mengalir dari orang tua, kakak, kerabat dan
tentu saja dari suami perlahan menguatkan semangat dan tekad saya, bahwa ini
bukan akhir dari segalanya, namun ini adalah awal dari sebuah tantangan hidup. Setelah
konsultasi yang panjang dengan berbagai pihak (dokter, psikolog, trapis wicara,
guru SLB, konsultan alat-alat bantu dengar) untuk menemukan cara terbaik sebagai
solusi, saya mengerti dan meyakini bahwa di balik setiap kekurang terdapat
banyak kelebihan yang tidak ditemukan pada anak yang normal. Anak saya, adalah
hadiah istimewa untuk saya. Saya belajar unuk menghargai potensi yang telah
Tuhan berikan pada tiap-tiap insan, menghargai sebuah kekurangan untuk
menemukan kelebihan yang tersembunyi dibaliknya.
Seiring perjalanan waktu, saya mengandung anak yang
kedua. Pada 6 bulan kehamilan saya, ibunda tercinta dipanggil untuk menghadap
Sang Pencipta, kepulangan beliau menuntut saya untuk menjadi pribadi yang lebih
kuat dan mandiri dalam menghadapi hidup. Enam bulan pasca kelahiran anak kedua,
saya dihadapkan pada tantangan baru. Suami saya yang berprofesi sebagai guru
SD, mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S2 di Yogyakarta atas
biaya Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Meski saya juga mempunyai
keinginan yang sangat kuat untuk mengikuti program yang sama, namun keinginan
itu terhalang oleh persyaratan administrasi dan birokrasi (Pangkat dan
golongan).
Keberangkatan suami saya ke Yogyakarta, menghadapkan
saya pada kenyataan untuk mengasuh kedua
anak kami sendiri. Ayahandalah yang menjadi kawan yang
selalu menyokong dan membantu saya dalam mendidik anak-anak. Namun itu hanya
berlangsung kurang dari enam bulan, Kesehatan Ayahanda yang sudah di usia 70-an semakin menurun, hingga akhirnya beliau menghembuskan
nafas terakhirnya, meninggalkan kesan dalam hidup saya bahwa manusia dilahirkan
untuk selalu belajar, dibimbing oleh orang tua, guru, atau teman. Namun pada
akhirnya manusia harus berpisah dari mereka yang telah membimbingnya untuk
menjadi pribadi yang mandiri, tabah, kuat, namun tetap selalu memberikan
manfaat bagi sesama.
Mencapai perjalanan panjang, berusaha menjadi anak
yang patuh pada kedua orang tua, membanggakan mereka, melahirkan dan membesarkan kedua anak saya dengan segala
kekurangan dan kelebihan mereka, memotivasi suami menyelesaikan
tugas belajarnya adalah prestasi yang paling membanggakan bagi saya sebagai bagian dari sebuah
keluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar