Selamat Datang...

Berbagi, Manfaat .....

Kamis, 13 Maret 2014

BANGGA DENGAN REZEKI NOMPLOK

Santai, membaca buku yang ada di hadapan saya, membuat saya bersemangat untunk membagikannya kepada orang banyak, untuk berbagi tanda cinta. Bukunya bagus, kumpulan beberpa tulisan kolom di sebuah koran harian (1986-1989) oleh seorang wartawan yang bernama Arsal Alhabsyi. Simak salah satu tulisannya yang banar-benar menggelitik gairah saya, untuk selalu mencintai dan bangga pada keramahan serta kekayaan iman bangsa kita, semoga tak cepat luntur pada kita dan anak-cucu kita nantinya:

KAMI AKAN KE SANA JUGA, PROFESOR

Seorang Profesor sejarah berkebangsaan Jepang pernah bertemu saya. Ia diantar oleh seorang wartawan dari Jakarta. Kami berbincang-bincang cukup lama dan topiknya macam-macam. Santai.
Selain guru besar, ia juga seorang pelukis. Ia membawa album yang berisi reproduksi puluhan karya seni lukis yang dibuatnya di hari-hari libur. Jika kita mengamati karya-karya seni lukisnya, (lewat reproduksi) ia memberi kesan sepenuhnya sebagai seorang pelukis profesional. Seluruh objeknya tersaji secara cermat dan hidup. Isi dan bentuk yang ditampilkannya mengesankan kedalaman wawasan dan kesempurnaan teknis. Mengagumkan. Namun, ia tak hidup atau mencari nafkah tambahan sebagai pelukis. Rumahnya yang besar di suatu kota kecil di Jepang punya ruang khusus tempat memajang lukisan-lukisannya, di samping berfungsi sebagai studio. Jika ia terlibat dalam suatu diskusi tentang seni lukis, profesinya sebagai guru besar sejarah (filsafat sejarah) tak terbayang sama sekali.
* * *
Dari pertemuan yang menarik dan tak terlupakan itu, ada hal yang ingin saya kemukakan di sini, yakni pertanyaan sang profesor sesaat setelah kami usai bersantap malam: “Tuan Arsal, hidangan yang kami cicipi malam ini sungguh nikmat sekali. Saya tahu persis, telur ikan terbang, udang, kepiting, yang Nyonya Arsal hidangkan, harganya cukup mahal. Maaf, saya mau bertanya, apakah anggaran belanja rumah tangga Tuan tidak mengalami defisit bulan ini?”
Defisit? Suatu pertanyaan yang jujur sekaligus membingungkan. Agaknya, dari air muka saya terbayang kebingungan itu. Tanpa saya minta, ia berusaha menjelaskan.
“Begini. Di Jepang, gaji seorang seperti saya, setiap bulan habis terbagi sesuai perencanaan. Artinya, bagi saya tidak gampang melakukan pengeluaran yang sifatnya insidental atau tiba-tiba. Sebab, hal demikian pasti merusak perencanaan yang telah tersusun untuk tiga atau enam bulan, atau bahkan untuk satu tahun. Pemasukan kami teratur sesuai jumlah gaji, begitu pula pengeluarannya. Untuk keperluan sehari-hari, biaya sekolah, rekreasi keluarga, dan tabungan hari esok, itu semua teratasi dengan gaji yang kami terima. Manakala kami menggunakan anggaran berlebihan untuk dapur misalnya, maka risikonya pasti mengganggu pos anggaran yang lain. Dan, itu berarti mengganggu stabilitas rumah tangga. Bertolak dari situlah, maka tadi saya bertanya, apakah hidangan makan malam yang sekian banyak orang cicipi tidak mengganggu budget rumah tangga Tuan Arsal bulan ini?”
* * *
Saya duga, pelukis yang guru besar itu, tiba-tiba menganggap saya bodoh sekali tatkala mengemukakan apa yang disantap oleh para tamu saya malam itu adalah rezekinya masing-masing. Bukan rezeki saya. Kata-kata yang saya ucapkan itu mungkin juga dianggapnya guyon. Terserahlah, yang jelas target saya tercapai, yaitu memelihara suasana santai.
Seorang ibu di Jepang pergi ke supermarket untuk membeli pisau silet umpamanya, setelah pulang ke rumah, hampir dapat dipastikan tidak akan membawa apa-apa, selain pisau silet. Berbeda dengan mereka, ibu-ibu kita disini jika singgah di sebuah toko untuk membeli sapu bulu ayam, setelah pulang, masih berada di luar pagar rumah sudah berteriak-teriak, “Tolong , tolong, angkat barang-barang ini masuk!” karean mereka nyaris memborong seluruh isi toko.
Menurut sang profesor, di Jepang tak dikenal kata rezeki nomplok. Yang ada cuma gaji atau nafkah sesuai dengan kedudukan, jenjang atau pangkat seseorang. Jadi, apa yang dimiliki seseorang selaras dengan gajinya. Tidak seperti di negeri kita ini. Seorang pegawai yang bernafkah hanya Rp 500.000 per bulan (kl. US$ 250) kok mampu menyekolahkan anak-anaknya ke luar negeri, yang notabene sekali setahun ditengoknya. Kenyataan seperti ini telah kita anggap tidak aneh karena sudah “terpajang” di mana-mana. Orang luar sama sekali tidak perlu heran. Kita dapat berkata: “kan kalian tak menegenal rezeki, apalagi rezeki nomplok? Jelas, itu salah kalian sendiri, siapa suruh hidup terlalu teratur?”

Apa pun kenyataan sekarang, cepat atau lambat, kita akan ke sana juga; keteraturan itu. Suatu keteraturan yang mungkin menghilangkan dimensi lain dalam kehidupan kita yang ramah dan menggairahkan.

Baca Informasi buku yang saya baca: https://catalogue.paramadina.ac.id/index.php?p=show_detail&id=19552

Tidak ada komentar:

Posting Komentar