Santai, membaca buku yang ada di hadapan saya, membuat saya bersemangat untunk membagikannya kepada orang banyak, untuk berbagi tanda cinta. Bukunya bagus, kumpulan beberpa tulisan kolom di sebuah koran harian (1986-1989) oleh seorang wartawan yang bernama Arsal Alhabsyi. Simak salah satu tulisannya yang banar-benar menggelitik gairah saya, untuk selalu mencintai dan bangga pada keramahan serta kekayaan iman bangsa kita, semoga tak cepat luntur pada kita dan anak-cucu kita nantinya:
KAMI AKAN KE SANA JUGA, PROFESOR
Seorang Profesor sejarah berkebangsaan Jepang
pernah bertemu saya. Ia diantar oleh seorang wartawan dari Jakarta. Kami berbincang-bincang
cukup lama dan topiknya macam-macam. Santai.
Selain guru besar, ia juga seorang pelukis. Ia membawa
album yang berisi reproduksi puluhan karya seni lukis yang dibuatnya di
hari-hari libur. Jika kita mengamati karya-karya seni lukisnya, (lewat
reproduksi) ia memberi kesan sepenuhnya sebagai seorang pelukis profesional. Seluruh
objeknya tersaji secara cermat dan hidup. Isi
dan bentuk yang ditampilkannya
mengesankan kedalaman wawasan dan kesempurnaan teknis. Mengagumkan. Namun, ia
tak hidup atau mencari nafkah tambahan sebagai pelukis. Rumahnya yang besar di
suatu kota kecil di Jepang punya ruang khusus tempat memajang
lukisan-lukisannya, di samping berfungsi sebagai studio. Jika ia terlibat dalam
suatu diskusi tentang seni lukis, profesinya sebagai guru besar sejarah (filsafat
sejarah) tak terbayang sama sekali.
* * *
Dari pertemuan yang menarik dan tak terlupakan
itu, ada hal yang ingin saya kemukakan di sini, yakni pertanyaan sang profesor
sesaat setelah kami usai bersantap malam: “Tuan Arsal, hidangan yang kami
cicipi malam ini sungguh nikmat sekali. Saya tahu persis, telur ikan terbang,
udang, kepiting, yang Nyonya Arsal hidangkan, harganya cukup mahal. Maaf, saya
mau bertanya, apakah anggaran belanja rumah tangga Tuan tidak mengalami defisit
bulan ini?”
Defisit? Suatu pertanyaan yang jujur sekaligus membingungkan.
Agaknya, dari air muka saya terbayang kebingungan itu. Tanpa saya minta, ia
berusaha menjelaskan.
“Begini. Di Jepang, gaji seorang seperti saya,
setiap bulan habis terbagi sesuai perencanaan. Artinya, bagi saya tidak gampang
melakukan pengeluaran yang sifatnya insidental atau tiba-tiba. Sebab, hal
demikian pasti merusak perencanaan yang telah tersusun untuk tiga atau enam
bulan, atau bahkan untuk satu tahun. Pemasukan kami teratur sesuai jumlah gaji,
begitu pula pengeluarannya. Untuk keperluan sehari-hari, biaya sekolah,
rekreasi keluarga, dan tabungan hari esok, itu semua teratasi dengan gaji yang
kami terima. Manakala kami menggunakan anggaran berlebihan untuk dapur
misalnya, maka risikonya pasti mengganggu pos anggaran yang lain. Dan, itu
berarti mengganggu stabilitas rumah tangga. Bertolak dari situlah, maka tadi
saya bertanya, apakah hidangan makan malam yang sekian banyak orang cicipi
tidak mengganggu budget rumah tangga
Tuan Arsal bulan ini?”
* * *
Saya duga, pelukis yang guru besar itu,
tiba-tiba menganggap saya bodoh sekali tatkala mengemukakan apa yang disantap
oleh para tamu saya malam itu adalah rezekinya masing-masing. Bukan rezeki
saya. Kata-kata yang saya ucapkan itu mungkin juga dianggapnya guyon. Terserahlah,
yang jelas target saya tercapai, yaitu memelihara suasana santai.
Seorang ibu di Jepang pergi ke supermarket
untuk membeli pisau silet umpamanya, setelah pulang ke rumah, hampir dapat
dipastikan tidak akan membawa apa-apa, selain pisau silet. Berbeda dengan
mereka, ibu-ibu kita disini jika singgah di sebuah toko untuk membeli sapu bulu
ayam, setelah pulang, masih berada di luar pagar rumah sudah berteriak-teriak, “Tolong
, tolong, angkat barang-barang ini masuk!” karean mereka nyaris memborong
seluruh isi toko.
Menurut sang profesor, di Jepang tak dikenal
kata rezeki nomplok. Yang ada cuma gaji
atau nafkah sesuai dengan kedudukan, jenjang atau pangkat seseorang. Jadi, apa
yang dimiliki seseorang selaras dengan gajinya. Tidak seperti di negeri kita
ini. Seorang pegawai yang bernafkah hanya Rp 500.000 per bulan (kl. US$ 250)
kok mampu menyekolahkan anak-anaknya ke luar negeri, yang notabene sekali
setahun ditengoknya. Kenyataan seperti ini telah kita anggap tidak aneh karena
sudah “terpajang” di mana-mana. Orang luar sama sekali tidak perlu heran. Kita dapat
berkata: “kan kalian tak menegenal rezeki, apalagi rezeki nomplok? Jelas, itu
salah kalian sendiri, siapa suruh hidup terlalu teratur?”
Apa pun kenyataan sekarang, cepat atau lambat,
kita akan ke sana juga; keteraturan itu. Suatu keteraturan yang mungkin
menghilangkan dimensi lain dalam kehidupan kita yang ramah dan menggairahkan.
Baca Informasi buku yang saya baca: https://catalogue.paramadina.ac.id/index.php?p=show_detail&id=19552
Baca Informasi buku yang saya baca: https://catalogue.paramadina.ac.id/index.php?p=show_detail&id=19552
Tidak ada komentar:
Posting Komentar